Secara umum konsolidasi demokrasi yang sudah berjalan di Indonesia, menjadikan struktur lama yang monolitik tergusur. Kekuasaan didistribusikan ke cabang cabang kekuasaan negara, agar dapat bekerja sama dan saling mengontrol (checks and balances) untuk mencapai tujuan bersama. Konsolidasi demokrasi masih diperlukan untuk menemukan nilai-nilai politik bersama, dan sejauh ini belum sepenuhnya tuntas. Bila konsolidasi menunjukkan hasil yang lebih baik, maka kondisi itu akan mengantar pada ketahanan ideologi yang lebih tangguh di masa depan. Ini sama dengan istilah Pancasila semakin “sakti” yang setiap tanggal 1 Oktober selalu diperingati.
Kesaktian Pancasila dapat diartikan sebagai kemampuannya sebagai pemersatu bangsa selalu dapat diandalkan ketika berbagai upaya untuk menyingkirkan dan memarginalkannya dapat diatasi sehingga semboyan Bhineka Tunggal Ika yang ada pata pita Lambang Garuda Pancasila dapat dibuktikannya. Namun demikian, secara factual masih banyak yang mencoba mempersoalkan atau mempertanyakan kesaktian itu, ketika relevansi Pancasila dalam menghadapi berbagai tantangan ideologi lain, khususnya bersifat transnasional yang dihadapi negara-bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang. Pertanyaan ini muncul jelas karena keprihatinan melihat berbagai realitas, kondisi dan tantangan yang dihadapi negara-bangsa Indonesia yang kelihatan seolah-olah membuat Pancasila tidak lagi relevan. Apalagi kalau kita terus berkeinginan agar Pancasila tetap menjadi dasar negara dan sekaligus ideologi bagi Indonesia hari ini, pada 2030 dan beyond melintasi zaman.
Sejatinya Pancasila yang ditempatkan sebagai falsafah dasar negara (philosophie grondslag), atau juga sebagai pandangan hidup (weltanschauung), dapat juga diartikan sebagai sebuah kearifan local yang digali dari bumi Nusantara, dimulai dari pembibitan, perumusan sampai dengan pengesyahannya pada tanggal 18 Agustus tahun 1945. Perjalanan panjang yang dilalui Pancasila sebagai kearifan local menjadikan Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia yang majemuk dengan semboyan Bhineka Tunggal Ikanya. Walau demikian, dalam perjalanan panjangnya itu, Pancasila mengalami interaksi dengan ideology transnasional. Ideologi secara verbatim dimaknai sebagai struktur pemikiran dan nilai dalam tatanan pengetahuan tertentu. Secara umum, konsep ini berciri khas pada suatu pembenaran tertentu yang membedakan diri serta dibedakan dari konsep yang lain (Barker, 2014:139). Transnasional secara harfiah berarti melewati batas negara baik itu berupa yang terlihat seperti barang dan jasa maupun yang tak terlihat seperti ideologi dan agama.
Negeri sebesar Indonesia jelas mungkin selalu bersentuhan dengan ideologi transnasional. Demikian pula kearifan lokal berhadapan dengan keasingan yang mungkin dapat dimengerti maupun tidak. Hal yang menjadi titik masalah adalah apabila ideologi tersebut ditarik hingga titik terjauhnya atau apa yang lazim disebut dengan polemologi. Dengan kata lain, ideologi transnasional menjadi polemik jika hal tersebut dimutlakkan sebagai sebuah keharusan bagi masyarakat. Neoliberalisme, chauvinisme, dan komunisme adalah polemik dari absolutisme ideologi transnasional karena ketiganya sungguh asing bagi masyarakat Indonesia. Demikian pula halnya dengan keberadaan neoliberalisme dan fundamentalisme agama. Selain itu, ideologi- ideologi tersebut jelas tidak sesuai dengan kearifan lokal karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang kompleks dan tidak monolitik.
Beberapa tahun terakhir, Indonesia diwarnai oleh kekerasan fisik, verbal, maupun virtual, berlatarbelakang agama yang mengikis rasa toleransi beragama. Ada ideologi transnasional yang meskipun sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia namun tidak mau membuka diri sepenuhnya terhadap kearifan lokal. Pemikiran semacam ini melihat perbedaan bukan dalam pemahaman melainkan dengan pembedaan satu dan yang lain. Gesekan justru makin sering terjadi karena ketiadaan kompromi dalam setiap interaksi dengan lokalitas. Apa yang ideologi macam ini inginkan justru dipaksakan untuk diwujukan di Indonesia tanpa memandang kekayaan kearifan lokal. Kondisi seperti ini yang mengundang kecemasan dan kekhawatiran dilingkungan masyarakat maupun penyelenggara negara.
Kecemasan, kekhawatiran dan kegamangan itu bisa dipahami kemunculan dan perkembangannya. Kondisi psiko-sosial ini berkembang terkait iklim kebebasan dan demokrasi masa era reformasi, di mana orang atau kelompok manapun bebas mengembangkan beragam ideologi transnasional yang bukan hanya tidak sesuai, tapi bahkan bertentangan diametral dengan Pancasila. Masing-masing kelompok ideologis yang tidak kompatibel dengan Pancasila berusaha keras menyebarkan ideologinya dan merekrut warga dengan menggunakan berbagai retorik yang seolah-olah membenarkan argumen dan logika mereka. Melihat perkembangan ini, pemerintah negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila hampir tidak melakukan apa-apa atau bahkan seolah tidak berdaya mengkounter penyebaran berbagai ideologi dan gerakan transnasionalisme. Atas dasar latar belakang itu, dirasa perlu untuk mendiskusikan sikap kewaspadaan kita terhadap semakin menguatnya transmisi ideology transnasional dalam rangka konsolidasi demokrasi.
Konsep Ideology Transnasional dan Konsolidasi Demokrasi.
Ideologi adalah sejumlah doktrin, kepercayaan dan simbol-simbol sekelompok masyarakat atau bangsa menjadi pegangan dan pedoman karya (atau perjuangan) untuk mencapai tujuan masyarakat atau bangsa. Definisi ini bersumber dari Mubyarto dalam Pancasila Sebagai Ideologi.
Transnasional dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah berkenaan dengan perluasan atau keluar dari batas-batas negara. Transnasional dalam hal ini diartikan sebagai sebuah fenomena sosial yang terjadi karena semakin luas hubungan ekonomi dan sosial. Batasan antara negara satu dengan yang lain semakin tidak jelas.
Ideologi Transnasional dapat dibedakan menjadi dua corak, pertama yang ideologi transnasional yang berwarna (bernuansa religius transendental) dan ideologi transnasional yang tidak berwarna.
Ideologi transnasional yang berwarna maksudnya suatu ideologi yang didasarkan pengaruh aliran keagamaan tertentu sebagai pembentuk ideologi. Adapun ideologi transnasional yang tidak berwarna adalah suatu ideologi yang didasarkan atas pemikiran ekonomi dan politis belaka.
Ideologi transnasional yang berwarna dapat kita lihat pada ideologi Syiah Iran, Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan al-Qaeda, sedangkan ideologi tidak berwarna menunjuk pada komunisme dan kapitalisme (neo-liberal). Letak perbedaannya keduanya dapat dilihat dari paradigma relasi hubungan antara agama dengan negara.
Pada Ideologi transnasional yang berwarna, antara agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (integralistik), sedangkan pada ideologi transnasional yang tidak berwarna adalah kebalikannya, yakni memisahkan keduanya
secara absolut (sekularistik).
Ideologi transnasional, baik yang berwarna maupun yang tidak berwarna merupakan ancaman yang bersifat nir-militer atau asimetris telah menggeser paradigma Pertahanan Negara dengan menggunakan kekuatan militer (hard power) atau peperangan simetris menjadi peperangan yang bersifat asimetris yang tidak menggunakan metode serangan secara frontal, melainkan dapat melakukan serangan dengan menggunakan isu-isu ideologis, politik, hukum, ekonomi, sosial-budaya, dan teknologi informasi.
Dapat dikatakan kehadiran globalisasi juga memunculkan ancaman yang bersifat nir-militer. Semakin menguatnya ancaman nir-militer, maka hampir dapat dipastikan akan semakin melemahkan sistem Ketahanan Nasional Indonesia.
KBBI Konsolidasi/kon·so·li·da·si/ n 1 perbuatan (hal dan sebagainya) memperteguh atau memperkuat (perhubungan, persatuan, dan sebagainya); 2 peleburan dua perusahaan atau lebih menjadi satu perusahaan;
Konsolidasi adalah tindakan atau upaya untuk menyatukan, memperkuat dan memperkuat hubungan antara dua atau lebih kelompok yang membentuk unit yang lebih kuat. Tujuan konsolidasi adalah untuk menyatukan setiap elemen yang memiliki kesamaan tertentu, seperti asal-usul wilayah, agama, atau kelompok dengan tujuan yang sama.
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan rakyat. Dengan kata lain, rakyat merupakan pemegang kekuasaan dalam pemerintahan yang memiliki hak untuk mengatur, mempertahankan, serta melindungi diri mereka dari adanya paksaan dari wakil-wakil mereka. Abdul Ghani Ar Rahhal
Konsolidasi demokrasi adalah ujung atau muara dari transisi demokrasi yang dicirikan oleh berfungsinya rezim politik baru hasil politik demokratis secara terlembaga. Konsolidasi dimulai ketika lembaga-lembaga dan tata pemerintahan yang baru sudah diorganisasikan dan mulai bekerja serta berinteraksi menurut aturan-aturan permainan yang baru pula. Pengertian lain konsolidasi demokrasi : upaya untuk memperteguh atau memperkuat pelaksanaan nilai-nilai demokrasi dan pengembangan kehidupan demokrasi
Pengaruh Ideology Transnasional Terhadap Ideology Pancasila.
Akhir-akhir ini ideologi Pancasila bangsa Indonesia mendapatkan tantangan yang luar biasa di tengah arus globalisasi dan adanya gerakan ideologi baru transnasional (Ideologi Khilafah). Ideologi Pancasila yang terbuka, inklusif dengan adanya berbagai aliran Ideologi yang masuk di Indonesia kini ideologi Pancasila diuji kembali untuk menyelesaikan atas persoalan benturan peradaban antara ideologi Pancasila dan ideologi Khilafah.
Ideologi Pancasila yang sudah final kini mulai dirongrong dengan masuknya ideologi baru Islam yang radikal dari Timur-Tengah bahkan ingin dijadikan sebagai dasar negara, yakni Negara Islam. Oleh karena itu, ketika Ideologi khilafah menyebar semakin berkembang akan menciptkan kekhawatiran dan justru menciptakan distabilitas bangsa Indonesia terutama pertentangan dengan Ideologi Pancasila.
Kehadiran ideologi khilafah ini merupakan bagian dari bayang-bayang ideologi transnasional yang sangat berbahaya bagi eksistensi bangsa Indonesia dan akan mengancam eksistensi kedaulatan bangsa yang telah menjadikan pancasila sebagai dasar negara, falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Oleh Karena itu, akan sangat mengenaskan jika ideologi Pancasila yang digali oleh Ir.Soekarno ini dengan tiba-tiba diganti dengan ideologi khilafah yang justru tidak memiliki akar budaya dari bangsa Indonesia yang terkenal majemuk dan multireligi.
Karena itu, gerakan politik Ideologi khilafah dibangun lewat Masjid dan Kampus. ini adalah alat untuk menancapkan pengaruh dan simpati massa, menghembuskan diskursus penegakan Syariat Islam dan ajaran Islam khilafah. Karena itu, kita harus selalu waspada dan curiga ini lama-lama akan menjadi bom waktu akan mengancam keharmonisan dalam beragama, berkeyakinan.
Oleh karena itu, sebagai suatu ancaman terhadap keberadaan negara Indonesia maupun pada pancasila sebagai dasar negara, maka juga perlu dicermati dan dipikirkan bersama oleh pemerintah tentang ideologi khilafah yang transnasional seperti Hizbut Tahrir, yang gerakan politiknnya mulai diwaspadai karena telah menyusup ke Masjid Masjid Kampus ini dapat menimbulkan konflik sosial-politik keagamaan dan lama-lama mengerogoti ideologi pancasila.
Pada saat ini memang kita tengah menghadapi benturan ideologi yang mengatasnamakan agama, baik itu dari gerakan Islam fundamentalis maupun konservatif. Gerakan-gerakan itu akan memperkeruh dan mempertentangkan dengan falsafah Pancasila. Indonesia bukan negara Islam, Tapi Indonesia adalah negara yang majemuk, plural dan multireligi. Benturan ideologi yang berbasis agama ini yang akan mengancam eksistensi NKRI.
Dalam konteks benturan ideologi ini, tentuanya sistem khilafahnya yang di inginkan oleh Hizbut Tahrir hanya bisa dilaksanakan pada suatu nation state yang memiliki platform yang berasaskan Islam, tidak sebaliknya memaksakan kehendaknya di negeri Indonesia tercinta kita ini yang berasaskan Pancasila sebagai falsafah negara. Justru, dengan cara pemaksaan dalam menegakkan syariat Islam itu yang dapat menciptakan perpecahan dan pertikaian antar sesama bangsa yang akan terus bergulir dan meresahkan masa depan bangsa Indonesia. Dengan demikian, semua elemen bangsa Indonesia harus selalu waspada dengan infiltrasi ideologi khilafah yang bertendensi mengancam keutuhan NKRI. Maka dari itu, Pancasila sebagai jalan hidup bangsa Indonesia harus selalu ditegakkan dan diamalkan setiap saat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ideologi Pancasila harus selalu dijaga dan dilestarikan dalam kehidupan akademik juga agar warga negara Indoensia dan mahasiswa Indonesia tidak dibelokkan ke arah Ideologi Khilafahnya. Dengan demikian, kita harus tetap waspada mencermati gerakan politik ideologi khilafah dengan memberikan perhatian lebih terhadap tegaknya kedaulatan negara sebagai manifestasi dari sikap nasionalisme. Sehingga kader ormas yang memiliki ideologi khilafah pun tidak boleh bersikap arogan dan mengedepankan egosentrisme dalam berceramah dan menguasai masjid Kampus yang bisa mengancam disintegrasi kampus dan bangsa sehingga menyulut api pertikaian maupun permusuhan antar sesama bangsa yang majemuk ini. Oleh karena itu, dengan mengingat gencarnya gerakan politik ormas keagamaan dengan mengusung ideologi khilafah yang masuk ke masjid kampus, kita segenap elemen kampus dan elemen bangsa perlu memantapkan kembali ideologi Pancasila sebagai petunjuk (welstanchauuung) dan memantapkan kembali wawasan kebangsaan, wawasan nusantara dan ketahanan Ideologi Nasional bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari baik terutama di dunia kampus dan masyarakat sekitarnya. Dengan demikian, melalui pemantapan ideologi pancasila sebagai dasar negara, kita berharap dapat menangkis dan membendung ideologi Khilafiah yang berusaha merusak tatanan ideologi kita yang sudah final dan diakui sebagai landasan hidup bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika ada sekolompok masyarakat atau organisasi keagamaan yang tidak menginginkan pancasila sebagai ideologi negara, maka berarti mereka telah melanggar dari Undang-Undang Ormas dan berarti mereka dianggap sebagai pemberontak yang harus ditumpas dan sebisa mungkin dicegah penyebaran ideologi tersebut. Kita memang perlu mengembangkan sikap keseimbangan dalam merajut hubungan harmonis antara agama dan negara, karena keduanya merupakan perpaduan yang tidak bisa dipisahkan. Di samping itu, potensi gerakan politik ideologi khilafahnya sangat menganggu hubungan kehidupan bangsa Indonesia, yang berupaya menganggau kedaulatan negara kita. Mereka berupaya mengangganti bentuk negara Indonesia yang bersistem demokrasi pancasila, dengan konsep pemerintah Islam (Khilafah Islamiyah). Fakta itulah yang harus kita waspadai bersama oleh seluruh pemerintahan Indonesia dan rakyat Indoensia.
Karena itu, kita menghendaki agar Indonesia sebagaimana cita-cita para founding fathers akan tetap berlanjut demi menjaga tujuan, komitmen kebangsaan dan ketundukan semua warga negara terhadap ideologi negara Pancasila, UUD 194 dan MKRI Mutlak harus dipertahankan sampai tetes darah penghabisan.
Kita tahu bahwa pancasila adalah garda paling depan untuk melawan dan menepis keraguan akan falsafah negara kita yang sudah final dan tidak bisa diganggu gugat. Pancasila sebagai dasar negara juga sering disebut dengan istilah dasar falsafah negara dan ideologi negara. Dalam pengertian ini, pancasila dipergunakan sebagai dasar untuk mengatur pemerintahan. Pancasila sebagai dasar negara sesuai dengan sejarah kelahirannya untuk membentuk dasar negara. Hal ini juga sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam kalimatnya “maka disusunlah kemerdekan kebangsaan dalam satu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dengan berlandaskan pada pancasila sebagai fungsi yang paling fundamental, maka segala persoalan yang menyangkut kehidupan bangsa Indonesia akan bisa dipecahkan dengan baik. Karena, titik tekan dari eksistensi pancasila dalam kehidupan bangsa Indonesia lebih mengacu pada satu pandangan hidup yang sejalan dengan landasan moral dan agama. Di mana antara landasan moral dan pancasila mempunyai ikatan yang inheren dan tidak biasa dipisahkan satu sama lain. Keduanya dalam kehidupan manusia berjalan seiring dan saling membutuhkan.
Rumusan yang terkandung dalam pancasila, semuanya telah sesuai dengan kondisi kehidupan bangsa Indonesia yang plural, karena memiliki heterogenitas bangsa yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, baik perbedaan suku, bahasa, agama, adat istiadat maupun budaya masing-masing daerah. Karenanya kita wajib memelihara dan mengamalkan apa yang terkandung dalam rumusan pancasila sebagai way of life dalam menjalani kehidupan dengan masyarakat yang lain. Pancasila dalam pengertian ini, sering disebut way of life, weltanschauung, wewldberschouwing, Wereld en levens beschouwing, pegangan hidup, dan pandangan dunia. Pancasila sebagai pegangan atu petunjuk dalam kehidupan sehari-hari digunakan sebagai arah kegiatan atau aktifitas hidup di segala bidang. Sebagai pandangan hidup, pancasila mempunyai keterkaitan dengan norma agama. Yang mungkin dapat dikemukakan bahwa, pancasila seharusnya tidak boleh bertentangan dengan norma-norma agama, norma kesusilaan dan norma hukum yang berlaku di Indonesia. Dengan mengacu pada pemahaman tersebut, maka pancasila harus ditempatkan kerangka yang lebih luas dan menyeluruh kepada masyarakat. Sehingga, dalam perkembangan selanjutnya, pancasila tetap menjadi pandangan hidup yang utama cita-cita luhur bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sudah saatnya, kita perlu menanamkan benih-benih ideologi pancasila kepada generasi muda yang akan menjadi penerus bangsa ini ke depan agar dijaga dan dipertahankan sebagai sebuah pandangan hidup yang mulia. Sudah saatnya pula, kita bersatu dan berkomitmen untuk menjadikan pancasila sebagai falsafah tunggal. Oleh karena itu, kita pun patut memantapkan ideologi pancasila sebagai asas tunggal yang tidak bisa diintervensi oleh platform ideologi mana pun, apalagi ideologi Khilafah.
Mudahnya Ideology Transnasional Berkembang di Indonesia.
Mengapa ideologi transnasional mudah berkembang di Indonesia? Apakah tidak ada cara keberagamaan ala Nusantara? Kalau ada, mengapa yang “impor” selalu lebih menarik? Harus diakui bahwa ideologi transnasional yang mengampanyekan keseragaman, satu warna, dan cara beragama yang kaku dan sempit, sudah menjadi rujukan bagi sebagian anak bangsa. Meningkatnya intoleransi, kekerasan, dan tindakan radikalisme lainnya, tidak lepas dari menjamurnya paham keagamaan yang diimpor itu. Tindakan yang menegasikan pihak lain adalah ciri utama dari efek negatif ideologi transnasional itu.
Solusi instan yang ditawarkan oleh para ideologi transnasional bahwa apapun masalahnya solusinya adalah syariat Islam tegak, khilafah tegak, mampu membius para generasi milenial yang memang watak generasi ini adalah suka dengan sesuatu yang instan.
Mengapa semuai ini bisa terjadi? Jawabannya adalah bahwa penetrasi ideologi trans-nasional (impor), yang sering diklaim sebagai solusi-alternatif seperti ideologi khilafah sejatinya terjadi sebab ideologi Pancasila “kurang” aktual lagi di kehidupan kita. Pancasila hanya sering dijadikan pajangan, seremonial, formalitas, upacara, tetapi tidak membumi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Nilai-nilai Pancasila yang penuh gotong-royong, persatuan, toleran, dan menghargai keberagaman sudah tercerabut dalam kehidupan anak bangsa.Tak berhenti di sini, kebijakan dalam menjalankan Negara sering dilakukan salah arah dan jauh dari semangat Pancasila.
Setidaknya akan terjadi empat Dis jika kita suatu bangsa lupa akan dasar dan falsafah negaranya sendiri. Pertama, dis-orientasi. Yakni salah arah dalam penegakan hukum, kelola negara, dan pengambilan kebijakan. Jika ketiga hal penting tadi salah arah, maka akan muncul yang dis berikutnya.
Kedua, dis-trust. Timbul ketidakpercayaan masyarakat akibat dari salah arah. Masyarakat mulai muak, dan main hakim sendiri pun bermunculan.
Ketiga, dis-obedience, timbulnya pembangkangan terhadap negara. Masyarakat mulai enggan dengan namanya negara, karena negara tidak bisa memenuhi kebutuhan warganya. Keempat, dis-integrasi, negara pecah, terjadi polarisasi, konflik. Dalam level ini yang ada kekacauan. Tidak ada lagi hukum yang dijadikan aturan bersama.
Kondisi kehidupan, berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat kita, ketika Pancasila “kurang” aktual, belum membumi, dan hanya sekadar pajangan, dengan apik dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menawarkan ideologi alternatif.
Sebab Pancasila tidak lagi aktual, maka khilafah disodorkan sebagai koentji. Khilafah adalah bak obat manjur yang bisa mengobati segala penyakit dan masalah yang dihadapi masyarakat. inilah yang disebut dengan lorong ideologi alternatif itu.
Artinya, khilafah dengan segala bentuk luarnya bermain dalam lorong-lorong ideologi yang mulai ditinggalkan oleh manusianya sendiri.
Minus Pengamalan Pancasila
Menjauhnya kita dari Pancasila berakibat mendekatnya ideologi impor kepada kepada masyarakat. Para pengusung paham radikal dengan lihai menyasar para anak muda, masyarakat, dan generasi bangsa pada umumnya.
Target utama mereka adalah para anak muda, anak-anak, dan rumah tangga. Sebab ketiga unsur inilah yang jadi pilar tegak tidaknya suatu bangsa nantinya.
Anak muda yang masih punya semangat bergejolak, anak-anak yang masih polos, institusi keluarga yang steril dari pengawasan pemerintah, menjadi sasaran empuk ideologi khilafah.
Pola penyebaran dilakukan lewat pengajian, halaqah, mesjid, mushalla, organisasi, dan paling efektif adalah lewat media sosial. Khusus yang terakhir dilakukan dengan umpan pancing.
Artinya paham radikal dipasarkan begitu aja ke lini massa medsos laiknya seorang pemancing lagi menebarkan umpannya di lautan luas. Siapa yang merespons, itulah yang diindoktrinasi, dan diincar secara massif dan rapi.
Bentuk ajakan dan doktrin yang disebarkan kepada masyarakat antara lain. Pertama, dukungan dan ajakan bergabung dengan khilafah. Ini dengan mudah kita temui –baik secara tersurat maupun tersirat – di sekelilingkita. Para pengusung dan simpatisan khilafah dengan bagus bisa memasarkan khilafaisme itu kepada khalayak umum.
Kedua, anti-demokrasi dan Pancasila. Gerakan ini dilakukan, sebab bagi kelompok radikal, keduanya adalah berhala ciptaan manusia yang tidak mungkin bisa menciptakan kesejahteraan dan keadilan.Yang bisa menciptakan itu, hanyalah sistem Islam yang diambil dari kedua sumber Islam.
Ketiga, mengkafirkan orang lain yang tidak sesuai dengan golongannya. Dalam istilahnya disebut kaum takfirisme. Beda dikit kafir. Tidak sesuai manhaj, kafir. Bertolak belakang dengan tokoh mereka, sesat. Ada pendapat yang tidak mainstream, dibilang perusak akidah.
Keempat, kekerasan atas nama agama yang teraktualasi ke dalam terror yang diklaim sebagai jihad dan panggilan syahid. Inilah puncak dari radikalisme. Bermula dari intoleransi, tidak mau menerima orang lain. Kemudian jadi radikal, ingin mengganti sistem yang ada, dan ujungnya teroris, ingin mengubah itu dengan cara kekerasan.
Strategi Penangkalan
Penetrasi ideologi khilafah apalagi yang berbentuk radikalisme itu tidak bisa tidak, harus kita tangkal secara bersama-sama. Gerak lajunya harus dihentikan. Dengan cara apa? Salah satu cara penting itu adalah penguatan wawasan kebangsaan.
Penguatan itu bisa dilakukan dengan cara. Pertama, integrasi agama dan kebangsaan. Pendidikan kita masih terasa ada dikotomi dan jarak yang jauh antara pendidikan agama di satu sisi, dan pendidikan kebangsaan di sisi yang lain. Padahal keduanya adalah satu tarikan nafas.
Harus diajarkan kepada anak-anak, para pemuda, juga keluarga, bahwa beragama sama pentingnya dengan bernegara. Beragama tidak sempurna, jika keberagaman, perbedaan, dan pluralitasbudaya bangsa ini tak dirawat.
Pendidikan agama kita selama ini masih berkutat di seputar ibadah mahdah. Pembumian lewat cinta tanah air, cinta damai, perjuangan memajukan bangsa, masih berjalan secara sporadis.Pendidikan kita harus bisa melahirkan generasi yang agamis sekaligus nasionalis. Agama dan kebangsaan adalah ibarat ikan dengan air.
Kedua, kemanusiaan. Para generasi bangsa harus dibangun pada kesadaran, bahwa kemanusiaan adalah tolak ukur. Segala macam paham, doktrin, ajakan, apapun itu, apabila masih mengorbankan kemanusiaan harus ditolak mentah-mentah.
Kemanusiaan adalah fondasi kita dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ali bin Abi Thalib menyatakan, “jika kita tidak saudara seiman, kita masih saudara dalam kemanusiaan.”
Inilah yang disebut kemanusiaan yang adil dan beradab. Hidup tidak lagi memandang latar belakang: agama, suku, budaya, tradisi, asalkan ia manusia, maka ia harus dihormati, hak-haknya harus dilindungi, darah dan kehormatannya haram dirampas.
Lorong kosong dan sepi sebab kita meninggalkan Pancasila sengaja diambil oleh ideologi khilafaisme dan radikalisme agama harus segara dihentikan. Mari kita bersama-sama menghidupkan kembali di kehidupan sehari-hari, supaya Pancasila tidak hanya teksnya saja. Dengan demikian, ideologi khilafaisme, radikalisme, dan segala macam ideologi impor tidak bisa masuk ke dalam lorong-lorong kehidupan anak bangsa.
Indonesia Melibatkan Berbagai Elemen Dalam Proses Konsolidasi Demokrasi
Selepas Rezim Orde Baru di tahun 1998, Indonesia mulai memasuki babak baru yang disebut dengan Reformasi. Reformasi yang dimaksud adalah reformasi di dalam tataran politik dan ekonomi yang semula bersifat sentralistrik di tangan presiden menjadi terbuka berdasarkan asas demokrasi dan liberalisme. Demokrasi dapat dikatakan sempurna diterapkan di dalam suatu Negara apabila Demokrasi telah tekonsolidasi dengan baik di seluruh institusi politik dan warga negara
Juan J. Linz dan Alfred Stepan adalah seorang akademisi yang sangat aktif menyumbangkan pemikirannya di dalam isu-isu terkait demokrasi. Di dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Toward Consolidated Democracies, dijelaskan setidaknya terdapat lima prasyarat yang harus dipenuhi oleh suatu negara untuk mencapai konsolidasi demokrasi. Prasyarat tersebut terdiri atas: (1) masyarakat sipil yang bebas dan hidup; (2) masyarakat politik yang relatif otonom; (3) pemerintah dan aparat negara secara efektif melindungi kebebasan individu dan kehidupan asosiasi; (4) birokrasi yang dapat digunakan oleh pemerintah demokratis yang baru; (5) masyarakat ekonomi yang dilembagakan.
Apabila melihat teori yang dikemukakan oleh Linz dan Stepan terkait konsolidasi demokrasi, dapat kita analisa kasus di Indonesia sebagai berikut:
Indonesia belum seluruhnya memiliki masyarakat sipil yang bebas dan hidup. Secara umum, masyarakat Indonesia memang tidak mengalami pembatasan yang signifikan dari pemerintah. Namun demikian isu yang baru-baru ini mencuat ke permukaan adalah pembatasan pemerintah terkait diskusi atau perkumpulan terkait pemikiran-pemikiran kiri atau komunis. Walaupun pemikiran ini bertolak belakang dari demokrasi, namun masyarakat sejatinya memiliki kebebasan untuk berdiskusi dan mengajukan pendapat. Tidak hanya itu, kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada G30S/PKI bahkan juga belum menemui titik terang.Dengan demikian, terlihat bahwa Pemerintah dan Aparat Negara Indonesia belum efektif melindungi kebebasan individu dan kehidupan asosiasi menghasilkan individu yang tidak bebas.
Kita melihat bahwa kemenangan Jokowi-JK pada pilpres yang lalu ialah kemenangan seluruh rakyat. Itu termasuk juga kemenangan bagi para pendukung Koalisi Merah Putih. Oleh karena itu, bukan hanya PPP dan PAN, siapa pun yang akan menyusul bergabung untuk mendukung Jokowi-JK dalam memajukan bangsa harus didukung. Semangat kubu-kubuan, jika itu ada, harus segera diakhiri. Kita menganut demokrasi karena kita telah sepakat bahwa paham itu akan dipergunakan sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya. Kita menolak jika demokrasi hendak dipergunakan sebagai alat persekongkolan untuk melampiaskan dendam politik dengan cara menjegal kubu yang menang dalam pilpres. Apalagi kita meyakini bahwa kubu yang menang dalam pilpres tersebut hendak melaksanakan program-program yang justru membawa manfaat dan maslahat besar bagi rakyat. Karena itu, koalisi permanen sebagaimana pernah dideklarasikan Koalisi Merah Putih itu tidak ada. Yang ada ialah konsolidasi demokrasi untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat.Koalisi permanen sebagaimana pernah dideklarasikan Koalisi Merah Putih itu tidak ada. Yang ada ialah konsolidasi demokrasi untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
Menyikapi Ideology Transnasional Dalam Rangka Konsolidasi Demokrasi
Kondisi demokrasi di Indonesia tidak jauh berbeda dengan gambaran kondisi demokrasi global di atas. Reformasi yang telah berusia lebih dari 17 tahun pada praktikya belum mampu melahirkan kultur demokrasi yang berkualitas. Pelaksanaan demokratisasi di Indonesia terus mendapatkan sorotan dari akademisi maupun praktisi pembangunan. Muncul pertanyaan bahwa apakah demokrasi merupakan system yang paling cocok bagi kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural? Atau apa yang salah dalam penerapan demokrasi tersebut sehingga belum mampu mengantarkan warga negaranya kepada kesejahteraan sebagaimana yang “dijanjikan” oleh demokrasi itu sendiri.
Menurut laporan Freedom House yang melakukan evaluasi tahunan mengenai kemajuan dan kemunduran kebebasan di 195 negara sejak tahun 2006 memasukkan Indonesia kedalam kelompok negara yang “bebas secara penuh”. Predikat ini menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara demokrasi maju seperti Amerika Serikat, Inggris, jepang, Korea dan lain-lain. Namun di sisi lain, majalah The Economist, yang mengeluarkan demokrasi indeks setiap tahun, pada tahun 2012 menempatkan Indonesia pada peringkat 53 yang berarti Indonesia masuk dalam kelompok “flawed democracy”, jauh di bawah negara yang masuk kedalam “full democracy” (peringkat 1 - 20).
Terlepas dari masih sangat makronya hasil kajian lembaga-lembaga internasional tersebut terhadap kondisi demokrasi di Indonesia, setidaknya memberikan gambaran dan penilaian terhadap tingakat demokrasi di suatu negara termasuk Indonesia yang barangkali bisa menjadi acuan umum bagi masuknya investor asing. Namun dari sisi dinamika demokrasi di tingkat sub-nasional, hasil kajian di atas tidak bercerita apa-apa dan oleh karenanya tidak relevan untuk dijadikan sebagai petunjuk arah kebijakan dan pengembangan demokrasi di tingkat daerah.
Konsolidasi demokrasi sebagai salah satu indikator menuju demokrasi yang sukses dalam konteks Indonesia dapat diartikan sebagai upaya untuk mengamankan dan mempertahankan demokrasi, memperluas substansi dan napas demokrasi supaya berumur panjang. Mengutip pernyataan Mantan Menkopolhukam, Djoko Suyanto, setidaknya ada dua syarat penting terkonsolidsasinya demokrasi, yakni pertama, jaminan terselenggaranya pranata-pranata politik dalam prinsip dan norma demokratis. Kedua, dikokohkannya sistem nilai publik untuk mengukur serta mengevaluasi proses sirkulasi elit, agar berjalan secara demokratis dengan hasil akhir yang baik bagi demokrasi.
0 Komentar