1. Pendahuluan
Globalisasi adalah proses mendunianya suatu hal sehingga batas antara negara menjadi hilang. Globalisasi didukung oleh berbagai faktor, seperti perkembangan teknologi informasi, apalagi sekarang ini revolusi industri sudah masuk pada era revolusi industri yang berbasis tekhnologi 4.0, kemudian perkembangan teknologi transportasi, ilmu pengetahuan, telekomunikasi, dan sebagainya yang kemudian berpengaruh pada perubahan berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat, mengubah masyarakat biasa menjadi masyarakat digital. Dalam perkembangannya, globalisasi paling tidak mempengaruhi 3 aspek yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek politik1. Pangaruh globalisasi menambah semakin tergerusnya keragaman budaya lokal serta tersebarnya budaya barat ke seluruh dunia, dunia menjadi terseragamkan oleh hegemoni budaya barat. Shmul N. Eisenstadt (2013) menguraikan bagaimana globalisasi kontemporer ditandai dengan semakin tumbuhnya saling keterhubungan antara proses budaya, ekonomi dan politik dalam globalisasi. Pada area budaya , proses globalisasi ini terkait erat dengan ekspansi media yang sering kali diinterpretasi sebagai keseragaman hegemoni budaya barat. Dalam konteks Indonesia, “begitu cepatnya pengaruh budaya asing tersebut menyebabkan terjadinya goncangan budaya (culture shock), yaitu suatu keadaan dimana masyarakat tidak mempu menahan berbagai budaya yang datang dari luar sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan, masyarakat menjadi lebih permisif.
Globalisasi memiliki dampak positif dan negatif dalam kehidupan masyarakat, dampak positifnya adalah masyarakat antar negara dapat berinteraksi lebih mudah dengan kemajuan teknologi, peningkatan perdagangan internasional dan kegiatan wisata ke luar negeri karena kemajuan transportasi, pengembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat, penyebaran informasi yang tidak dibatasi oleh jarak antar negara, dan terjalinnya hubungan internasional antar negara yang semakin baik. Adapun dampak negatifnya adalah Lunturnya nilai-nilai kebudayaan asli masyarakat karena mulai melebur dengan budaya asing dari luar, nilai-nilai kehidupan masyarakat dari luar negeri ikut masuk seperti konsumerisme dan hedonisme, masuknya pola hidup yang berbeda dengan gaya hidup masyarakat lokal, khususnya pola hidup dari negara barat, kehidupan pertanian yang mulai ditinggalkan karena masyarakat agraris beralih menjadi masyarakat industri, dan kerusakan lingkungan serta peningkatan polusi udara2.
Era Globalisasi sekarang ini sangat ditunjang oleh Era Teknologi 4.0, yaitu suatu era yang ditandai tren otomasi dan pertukaran data terkini dalam teknologi. Istilah ini mencakup sistim siber-fisik,internet ,komputasi awan dan komputasi kognitif sebagai satu sistim cerdas dimana computer saling terhubung satu sama lain akhirnya membuat keputusan tanpa keterlibatan manusia, pada era ini pola komunikasi juga berubah ,semua orang bisa menyampaikan aspirasinya, berkomunikasi dengan orang yang tidak dikenal nya, mengomentari orang lain nan jauh disana. Situasi ini tentunya akan sangat berpengaruh pada hubungan antar manusia dan antar kelompok masyarakat, pada dasarnya adalah hubungan antar manusia digital dan antar kelompok masyarakat digital, yang akhirnya juga berpengaruh pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Era teknologi 4.0 atau juga dikenal dengan era disruptif yang membuat dunia semakin sempit ,informasi dibelahan dunia lain hanya dalam tempo detik dapat disebarluaskan, era ini ditandai dengan banjir informasi. Banjir informasi yang terjadi pada era 4.0 ini menjadi tantangan setiap negara. Negara-negara yang tidak memiliki ideologi yang kuat akan sangat rentan untuk tenggelam, Suriah menjadi bukti nyata kegagalan sebuah Negara pada era banjir informasi saat ini.
Nilai sebagai sesuatu yang masih bersifat abstrak memerlukan upaya untuk menjadikan nyata dan bermakna bagi seseorang atau masyarakat. Begitu pula halnya dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila tidak akan nampak nyata dan bermakna bagi kehidupan bangsa Indonesia apabila tidak terjelmakan kedalam pola pikir serta sikap perilaku setiap individu,kelompok, bahkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu nilai- nilai yang terkandung di dalam Pancasila yang meliputi; nilai dasar/nilai intrinsik (nilai yang ada dalam pembukaan UUD NRI), nilai instrumental ( aturan hukum sebagai penjabaran dari nilai dasar) dan nilai praksis (penjabaran nilai dasar dan nilai instrumental dalam kehidupan sehari-hari) tidaklah cukup untuk sekedar dimengerti dan dipahami, tetapi nilai-nilai tersebut harus dapat diterapkan, diimplementasikan atau diamalkan kedalam segenap peri kehidupan masyarakat agar terwujud suasana kondusif sehingga mampu mengantar bangsa Indonesia mencapai cita-citanya, yaitu bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pancasila harus menjadi landasan di dalam setiap langkah tindakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik itu sebagai etika moral yang berkaitan dengan Pancasila sebagai pandangan hidup atau falsafah bangsa atau Pancasila sebagai dasar negara sebagai dasar dalam penyelenggaraan negara kemudian sebagai ideologi nasional, Pancasila berperan sebagai sumber inspirasi dan motivasi perjuangan nasional dan keyakinan dalam meraih cita-cita. Didalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak akan terlepas dari sistem danaturan-aturan untuk mengatur negara, dimana aturan-aturan tersebut tidak boleh keluar dari pedoman ang sudah disepakati bersama, pedoman dan kesepakatan tersebut yaitu Pancasila, dimana sesuai Tap MPR NO XVIII thn 1998 ditetapkan sebagai dasar negara, ideologi negara dan falsafah/pandangan hidup bangsa Indonesia.
Tantangan terhadap Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, pada kehidupan beragama di era globalisasi sekarang ini yang paling mengemuka adalah tantangan dari kelompok radikal / fundamental agama melalui tindakan terorisme dan anarkisme. Bahkan yang paling mengkhawatirkan sekarang ini adalah fenomena maraknya serangan faham radikal intoleran, melalui media sosial yang perannya sudah mulai menggantikan peran media konvensional, dalam memasok informasi di kalangan publik. Menggunakan jubah keagamaan, membangun narasi menggunakan diksi-diksi yang agamis, seringkali oknum-oknum penyebar faham radikal intoleran ini mendapatkan simpati yang semakin luas, seiring dengan semangat keagamaan, kemajuan ukhuwah Islamiah dan keberhasilan dakwah Islamiah. Disatu sisi kita mengalami kegembiraan yang luar biasa karena keberhasilan dakwah Islamiah di Indonesia yang semakin luas, menyentuh semua kalangan, dari kelas sosial atas sampai bawah. Namun disisi lain, dalam event dan momen yang sama, kita mengalami serangan faham radikal intoleran yang membonceng dan memanfaatkan keberhasilan dakwah Islamiah, hal mana merupakan bom waktu yang sewaktu waktu dapat meledak menghancurkan bangunan masyarakat madani yang sudah susah payah kita bentuk.
Selanjutnya tantangan lain di era reformasi seiring dengan kemajuan tehnologi informasi dan komunikasi seperti ; individualisme, neo liberalisme, hedonisme dan sebagainya, sangat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Disisi lain perkembangan lingkungan strategis dan globalisasi membawa berbagai faham ideologi besar dunia yang dapat mempengaruhi masyarakat dunia termasuk masyarakat dan bangsa Indonesia, faham tersebut langsung masuk kedalam sanubari masyarakat melalui gadget nya masing-masing, langsung menyerang paradigma sehingga mengubah cara berfikir dan cara bertindak yang jauh dari nilai-nilai Pancasila. Perkembangan faham/ideologi besar dunia yang sejalan dengan globalisasi tersebut, pada akhirnya akan mengancam eksistensi Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia menghadapi tantangan yang tidak ringan, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Secara internal, Pancasila dihadapkan pada peranannya di dalam mempersatukan bangsa Indonesia yang tidak selamanya mudah dilakukan. Kebhinekaan atau kemajemukan Indonesia, sepintas lalu jauh lebih menonjol daripada kesatuannya. Oleh karena itu, bahaya disintegrasi selalu merupakan ancaman baik nyata maupun potensial. Eka Darmaputra dalam disertasinya yang berjudul “Pancasila and the Search for Identity and Modernity a Cultural and Ethical Analysis”, dalam salah satu kesimpulannya mengatakan bahwa integrasi adalah masalah yang paling pokok bagi masyarakat Indonesia, justru oleh karena integrasi mengasumsikan adanya pluralitas dan heterogenitas (Darmaputera, 1988: 40). Dalam kesempatan lain, Darmaputra mengatakan bahwa efektivitas Pancasila haruslah diukur dari sampai sejauh mana ia mampu mempertahankan baik ke- “bhinneka”-an maupun ke-“tunggal Ika”-an Indonesia di dalam suatu keseimbangan yang dinamis dan kreatif (Darmaputera, 1988: 29). Tantangan eksternal yang dihadapi oleh Pancasila adalah bahwa di era globalisasi ini muncul kecenderungan berakhirnya peran negara bangsa karena meningkatnya peran aktor internasional di luar negara (Non State Actor) sebagaimana sinyalemen dari Kenichi Ohmae dan Heidi – Alfin Toffler.
Bentuk tantangan terhadap implementasi nilai-nilai Pancasila pada praktek-praktek keagamaan di Indonesia
Tantangan yang dihadapi saat ini. Tantangan pertama adalah banyaknya ideologi alternatif melalui media informasi yang mudah dijangkau oleh seluruh anak bangsa seperti radikalisme, ekstremisme, konsumerisme. Hal tersebut juga membuat masyarakat mengalami penurunan intensitas pembelajaran Pancasila dan juga kurangnya efektivitas serta daya tarik pembelajaran Pancasila.
Kemudian tantangan selanjutnya adalah eksklusivisme sosial yang terkait derasnya arus globalisasi yang mengarah kepada menguatnya kecenderungan politisasi identitas, gejala polarisasi dan fragmentasi sosial yang berbasis SARA.
Ketahanan ideologi Pancasila kembali diuji ketika dunia masuk pada era globalisasi di mana banyaknya ideologi alternatif merasuki ke dalam segenap sendi-sendi bangsa melalui media informasi yang dapat dijangkau oleh seluruh anak bangsa
Pancasila sejatinya merupakan ideologi terbuka, yakni ideologi yang terbuka dalam menyerap nilai-nilai baru yang dapat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup bangsa. Namun, di sisi lain diharuskan adanya kewaspadaan nasional terhadap ideologi baru. Apabila Indonesia tidak cermat, maka masyarakat akan cenderung ikut arus ideologi luar tersebut, sedangkan ideologi asli bangsa Indonesia sendiri yakni Pancasila malah terlupakan baik nilai-nilainya maupun implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Bonus demografi yang akan segera dinikmati Bangsa Indonesia juga menjadi tantangan tersendiri untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi muda di tengah arus globalisasi.
Implementasi nilai-nilai Pancasila di era globalisasi. Pertama, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang menarik bagi generasi muda dan masyarakat.
Rekomendasi selanjutnya adalah membumikan nilai-nilai Pancasila melalui pendidikan dan/atau pembelajaran berkesinambungan yang berkelanjutan di semua lini dan wilayah. Oleh karena itu, perlu ada kurikulum di satuan pendidikan dan perguruan tinggi yaitu Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan (P3KN).
Pancasila saat ini diajarkan dan diperkuat melalui mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) dengan penekanan pada teori dan praktik. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh perkembangan global juga berdampak pada anak-anak.
Menurut Juan, Pancasila di masa mendatang akan mempertahankan otoritas negara dan penegakan hukum serta menjadi pelindung hak-hak dasar warga negara sebagai manusia. Oleh karena itu, sangat penting untuk menanamkan kesadaran terhadap potensi bahaya gangguan dari luar yang dapat merusak dan mengajak siswa untuk mempertahankan identitas bangsa serta meningkatkan ketahanan mental dan ideologi bangsa.
“Seharusnya representasi sosial tentang Pancasila yang diingat orang adalah Pancasila ideologi toleransi, Pancasila ideologi pluralisme, dan Pancasila ideologi multikulturalisme,”
Representasi sosial tentang Pancasila yang dimaksud adalah kerangka acuan nilai bernegara dan berbangsa yang menjadi identitas Bangsa Indonesia. Hamdi menjelaskan bahwa jika Pancasila menjadi acuan, maka implementasi nilai-nilai Pancasila akan lebih mudah terlihat dalam praktik bernegara, misalnya saat pengambilan kebijakan-kebijakan politik. Selanjutnya Hamdi menjelaskan bahwa terlihat Pancasila bisa memberikan solusi di tengah adanya beragam ideologi seperti sosialis dan liberal serta di tengah usaha politik identitas oleh agama, etnik, dan kepentingan.
Cara oknum-oknum penyebar faham radikal intoleran melaksanakan penetrasinya pada praktek-praktek keagamaan di media sosial.
Gerakan radikalisme atau fundamentalisme dalam Islam dewasa ini, era kontemporer Tampaknya lebih banyak dipengaruhi respon Islam atas Barat. Walaupun tematema yang berkaitan dengan inward oriented tetapi menjadi concern dan pilihan ideologis mereka. Paling tidak ada dua masalah besar yang menjadi perhatian kelompok ini. Pertama, mereka menolak sekularisme masyarakat Barat yang memisahkan agama dan politik, gereja, dan masjid dari Negara. Kesuksesan Barat melakukan sekularisasi dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya, karena dapat mengancam Islam sebagai agama yang tidak hanya mengurusi persoalan akhirat saja, tetapi sekaligus duniawi. Kedua, banyak umat Islam yang menginginkan agar masyarakat mereka diperintah sesuai dengan al-Qur’an dan syari’at Islam sebagai aturan bernegara.Oleh krena itu, dewasa ini tidak mengherankan, apabila muncul gerakan bawah tanah yang bercita-cita membangun khilafah Islamiyah dengan mengusung tema-tema kedaulatan Tuhan, jihad, revolusi Islam, keadilan sosial, dan sebagainya. Tema-tema tersebut diorientasikan pada masa lampau, khususnya generasi awal Islam sebagaimana yang dipraktikkan ole Nabi Muhammad saw dan para sahabat. Karena mereka menganggap bahwa masayarakat Islam dewasa ini menglami kemunduran, karena tidak lagi melakasanakan ajaran agamanya secara murni. Karenanya agenda di atas harus dilakukan untuk melawan hegemoni Barat sambil membayangkan
Lihat Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi (Jakarta: Serambi, 2001),
Bertolak dari pemaparan sejarah tersebut, dapat dikatakan bahwa fundamentalisme dalam Islam dan juga agama lain, memiliki karakteristik yang membedakannya dengan kelompok lain.
Pertama mengandung kesalahan. Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Teks-teks Al-Qur’an dalam pandangan kelompok ini, harus dipahami secara literal sebagaimana bunyinya atau redaksinya. Nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks, bahkan terhadap teks yang satu sama lain bertentangan sekalipun. Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme yang dianggap merongrong kesucian teks. Keempat, penolakan terhadap perkembangan historis sosiologis yang dianggap membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Kelima, monopoli kebenaran atas tafsir agama. Kaum fundamentalisme radikal, biasanya cenderung menganggap dirinya sebagai penafsir yang paling sah dan absah, sehingga cenderung memandang sesat kepada kelompok lain yang tidak sealiran.16 Contoh kasus Indonesia, gerakan Islam radikal kontemporer, dapat disebutkan di sini, antara lain Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Organisasi ini bersifat radikal dalam hal ide politiknya, namun menekankan cara-cara damai untuk mencapai tujuannya. Radikalismenya tergambar dari perjuangan HTI yang menginginkan perubahan politik fundamental melalui penghancuran total Negara-bangsa sekarang ini, dan menggantinya dengan Negara Islam baru di bawah satu komando khilafah.17 16Martin E. Marty, “What is Fundamentalisme Theological Perspective”, dalam Hans Kun dan Jurgen Moltmann (eds.), Fundamentalism as a Cumanical Challenge (London: Mac Millan, 1992), hlm. 3-13. Karagiannis dan Clark Mc Cauley, “Hizbut Tahrir al-Islami: Evaluating the Threat Posed by a Radical Islamic Group that Remannis Non Violence”, dalam Terrorism and Political Violence, No. 58 (2006), hlm. 318. Gerakan Radikalisme dalam Islam: Perspektif Historis ADDIN, Vol. 10, No. 1, Februari 2016 11 HTI dalam melancarkan gerakannya, tidak secara frontal seperti organisasi Islam radikal lainnya, seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) atau Anshorud Tauhid pimpinan Abu Bakar Ba’asyir. Tetapi HTI melancarkan gerakannya dengan bertahap. Untuk kasus Indonesia ini, belum ada bukti yang kuat menunjukkan keterlibatan HTI dalam tindak kekerasan dan terorisme. Oleh karena itu, penting untuk memahami aktivitas dan keterkaitannya dengan aksi jihad. Ada tiga tahap atau tiga langkah HTI dalam upaya mencapai tujuan politiknya, yaitu: (a) Tahap Tatsqif (pembinaan dan pengkaderan). Tahap ini Tahrir dan untuk membentuk kerangka sebuah partai. (b) Tahap Tafa’ul (interaksi), yaitu berinteraksi dengan umat agar mampu mengemban dakwah Islam, sehingga umat akan menjadikannya sebagai masalah utama dalam kehidupannya, serta berusaha menerapkannya dalam realitas kehidupan. (c) Tahap Istilamul Hukmi (pengambil alihan kekuasaan). Tahap ini berfungsi untuk menerapkan hukum Islam secara praktis dan totalitas, sekaligus untuk menyebar luaskan ke seluruh dunia. Ketiga tahap inilah yang dipakai oleh HTI dalam usahanya mencapai tujuan pendirian Negara Islam. Hal ini mengindikasikan bahwa perjuangan HTI dimulai dari bawah. Karena itu organisasi ini sangat aktif dalam perekrutan anggota, proses pengkaderan, dan penyebaran informasi melalui media massa, famplet, seminar dan demonstrasi jalanan sebagai bagian dari langkah-langkah strategis untuk mencapai tujuan pembentukan khilafah. Membandingkan kelompok radikalisme Islam era klasik, yang dimotori golongan Khawarij dengan konteks gerakan Islam radikal kontemporer, seperti Hizbut Tahrir dari sudut ilmu kalam, memang sangat kompleks. Hal ini dikarenakan kelompok yang pertama bersifat lebih teologis, sementara yang kedua sifatnya sangat politis. Tetapi, jika dilihat dari perspektif kajian radikalisme, khususnya secara doctrinal dan sosiologis, kita dapat menemukan beberapa kesamaan atau pun kemiripan, yang oleh Marty dan Appleby disebutnya sebagai “family resemblences” di antara keduanya.
Dari segi perbedaan konteks dan tahap radikalisme, bahwa kedua gerakan ini memiliki akar sejarah kemunculan yang berbeda. Khawarij muncul sebagai reaksi kekecewaan terhadap peristiwa tahkim yang akhirnya menguntungkan pihak musuh dan pendukungnya sesungguhnya telah menentang kedaulatan Tuhan, karena tidak menggunakan hukum Allah, sebuah klaim yang sebenarnya juga masih abstrak. Pemahaman yang eksklusif kekerasan terhadap orang di luar kelompoknya. Ciri utama radikalisme Khawarij bersifat ke dalam, ketimbang keluar. Target kekerasan Khawarij bukanlah pihak luar (non Muslim), namun kelompok Islam sendiri yang dianggap telah menyimpang dari Islam, atau memiliki pemahaman keagamaan Islam yang berbeda dengan kelompoknya. Dalam rekaman sejarah, Khawarij banya berperan sebagai pemberontak yang aktif melancarkan serangan terror dan kekerasan terhadap dinasti Islam yang berkuasa, baik di masa daulah Abbasiyah maupun Umayyah. Berbeda dengan organisasi Hizbut Tahrir yang lahir di masa kontemporer sekarang ini. Organisasi ini adalah fenomena modern yang muncul sebagai reaksi terhadap ancaman dari luar ketimbang dari dalam Islam sendiri. Organisasi Hizbut Tahrir sebagai gerakan politik dalam Islam, kelahirannya lebih banyak dimotivasi oleh faktor perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni Barat melalui proyek kolonisasi yang menjajah negeri-negri Muslim di dunia. Menurut, Azyumardi Azra, fundamentalisme dan radikalisme kontemporer bangkit sebagai reaksi terhadap penetrasi sistem dan nilai sosial, budaya, politik, dan ekonomi Barat, baik sebagai akibat kontak langsung dengan Barat maupun melalui pemikir Muslim. Tegasnya, kelompok modernis, sekularis, dan westernis atau rezim pemerintahan Muslim yang menurut kaum fundamentalis merupakan perpanjangan mulut Gerakan Radikalisme dalam Islam: Perspektif Historis ADDIN, Vol. 10, No. 1, Februari 2016 13 dan tangan Barat.19 Karena itulah wacana yang diangkat oleh Hizbut Tahrir, khususnya HTI di Indonesia cenderung anti Barat yang diterjemahkan dalam slogan atau semboyan perlawanan anti imperialisme, anti kolonialisme, dan anti kapitalisme. Sebagai anti tesis Barat, HTI selalu mengagungkan keunggulan Islam dengan berbagai aspeknya yang komprehensif. Hizbut Tahrir lebih menekankan terjadinya benturan budaya, ketimbang dengan cara dialog budaya dan harmoni antara Islam dan Barat.
Solusi yang harus ditempuh guna membentengi diri dan keluarga dari serangan faham radikal intoleran yang marak di media sosial
Kemajuan teknologi dan informasi tidak hanya berdampak positif, tetapi memiliki dampak negatif terutama menyangkut sikap intoleransi dan radikalisme mengarah pada terorisme. Generasi milenial harus terus diberikan pendidikan karakter untuk membentengi diri dari serangan hal-hal negatif tersebut.
"Masa depan Indonesia berada di pangkuan generasi milenial. Dalam mencapai negara sejahtera, damai, adil, dan makmur sebagaimana diamanatkan konstitusi maka generasi milenial harus terus diberikan pengajaran tentang pendidikan karakter, baik wawasan kebangsaan maupun ideologi Pancasila," Saat ini generasi muda senang melihat perubahan. Karena itu, perubahan yang cenderung negatif harus dieliminir, sementara perubahan yang positif harus digalakkan. Dengan penguatan karakter, otomatis proses eliminasi pengaruh negatif ini akan berjalan baik.
Sy sepakat Hari Ulang Tahun Lemhanas 20 Mei 2022, harus dijadikan momentum untuk menggelorakan penguatan karakter bangsa melalui pendidikan formal maupun non formal. "Apalagi saat ini bangsa Indonesia tengah menghadapi ancaman intoleransi, radikalisme, dan terorisme."
Saya mengapresiasi langkah Lemhanas untuk membetuk pendidikan PPRA/PPSA sebagai persiapan pemimpin bangsa masa depan.
Sy menilai, salah satu efek negatif dari media sosial adalah masifnya kelompok radikal melakukan propanganda. Dan itu target penyebaran paham dan rekrutmen itu adalah generasi milenial. Dengan demikian, penguatan karakter milenial harus terus dilakukan di berbagai lini, mulai dari keluarga, lingkungan, sekolah, maupun tempat umum. Jangan sampai anak-anak muda terpengaruh dengan paham-paham radikal karena paham radikal bukan saja bisa mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara tapi juga bisa merusak kehidupan rumah tangga dan masa depan pemuda. Apalagi penyebaran paham radikalisme saat ini sangat marak disebarkan melalui media sosial dengan sasarannya adalah anak-anak muda,"
Kementerian Agama dalam upaya mencegah paham radikalisme, diantara upaya tersebut adalah:
1. Membentuk Team Cyber Anti-Radikalisme dan Anti-Narkoba
2. Mereview Kegiatan/Program yang tidak prioritas dan menggantinya dengan Kegiatan Anti Radikalisme.
3. Mensosialisasikan ajaran Agama yang santun, saling menghargai, saling menghormati, damai, toleran, hidup rukun, menerima keberagaman dan kemajemukan, memiliki rasa cinta Tanah Air dan bela Negara serta ajaran agama yang Rahmatan Lil’alamin
4. Memberdayakan peran Penyuluh Agama Fungsional/Penyuluh Non-PNS, Muballigh, Penceramah dan KUA Kecamatan dalam upaya pencegahan paham Radikalisme
5. Memberdayakan Lembaga Pendidikan Agama Formal (RA/BA, MI, MTs dan MA) maupun Lembaga Pendidikan Agama Non-Formal (TKQ, TPQ, DTA dan Pondok Pesantren) dalam upaya Pencegahan Paham Radikalisme kepada Santri/Siswa
6. Pembinaan Agama bagi siswa di sekolah-sekolah melalui Guru Pendidikan Agama untuk mencegah masuknya paham radikalisme.
7. Menjalin hubungan koordinatif dengan Lembaga/Ormas Keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu dalam upaya mencegah Paham Radikalisme
8. Bermitra dengan Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan FKUB dalam Mewujudkan Tri Kerukunan Agama.
9. Melakukan penanggulangan paham Radikalisme dengan edukasi masyarakat, penyuluhan, bimbingan masyarakat di sekolah, keluarga, pesantren, majelis taklim, serta sejumlah program seperti dialog, workshop, dan diklat.
10. Melakukan pemulihan paham Radikalisme yang dilakukan dengan penyuluhan dan konseling, misalnya, terhadap eks-NAPI teroris.
Strategi yang harus ditempuh oleh Pemerintah dan seluruh komponen bangsa agar Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dapat menghadapi tantangan maraknya faham radikal intoleran yang terus menerus melakukan penetrasi di media sosial.
Strategi menyelamatkan Pancasila Upaya menjaga dan menguatkan nilai-nilai Pancasila di masyarakat dapat dilakukan dengan tiga hal yaitu melalui pendekatan budaya, internalisasi di semua level pendidikan, dan penegakan hukum terhadap hal-hal yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Pertama, nilai-nilai Pancasila perlu dikuatkan dengan pendekatan budaya. Pemerintah melalui Kemdikbud harus menyusun strategi yang tepat, efektif, dan partisipatif tanpa paksaan. Hal ini bisa dilakukan dengan membangun fasilitas atau pos-pos budaya di semua wilayah dalam rangka melestarikan sekaligus mengembangkan kebudayaan lokal yang ada di masyarakat. Kedua, penguatan nilai-nilai Pancasila di sektor pendidikan. Generasi muda adalah masa depan bagi ideologi Pancasila. Saat ini paparan ideologi radikal mulai mengancam generasi-generasi muda kita. Pemerintah perlu memikirkan strategi yang efektif agar nilai-nilai Pancasila terinternalisasi dengan baik dalam kurikulum pendidikan nasional. Jika perlu, pemerintah bisa mengintervensi kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan tinggi. Tidak sedikit sekolah-sekolah yang mengabaikan kurikulum berbasis nasional khususnya yang terkait dengan pengetahuan kebangsaan dan kebudayaan. Ketiga, penegakan hukum. Nilai-nilai Pancasila yang ada dalam konstitusi telah tercermin dalam sejumlah peraturan dan instrumen internasional yang telah diratifikasi untuk melindungi hak-hak warga negara. Pemerintah tak boleh segan-segan untuk menegakkan aturan hukum demi menjaga persatuan dan keutuhan bangsa.
Dampak positif dan negatif era globalisasi, dalam upaya implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila perlu diusahakan agar terwujudnya kesadaran dan ketaatan. Kesadaran adalah hasil perbuatan akal, yaitu pengamalan tentang keadaan-keadaan yang ada pada diri manusia sendiri. Jadi keadaan-keadaan inilah yang menjadikan objek dari kesadaran dan berupa segala sesuatu yang dapat menjadi sumber pengamalan manusia. Pengamalan tersebut bersifat jasmaniah maupun rohaniah dari kehendak manusia. Untuk itu Kaelan (2013:27) merincinya sebagai berikut: 1. Rasa, menimbulkan realisasi tentang kejiwaan 2. Akal, yang menimbulkan realisasi tentang kebenaran (ilmu pengetahuan, pengetahuan, inspirasi, institusi). 3. Kehendak, yang menimbulkan realisasi tentang kebaikan/kebenaran dan realisasi tentang kebahaagiaan, jadi berkaitan dengan tingkah laku manusia. Dari uraian di atas jika diurutkan maka agar manusia sampai pada suatu tingkat kesiapan untuk mengaktualisasikan Pancasila maka yang pertama harus diketahui adalah tentang pengetahuan yang benar tentang Pancasila, memenuhi meresapi, dan menyadari, kemudian menghayati dan pada akhirnya mewujudkannya. Jadi tanpa adanya syaratsyarat tersebut mustahil upaya pelaksanaan realisasi Pancasila dapat terlaksana dengan baik. Untuk itu diperlukan dalam suatu proses pendidikan yang terarah dan berkesinambungan. Adapun kesadaran dan kesiapan untuk pelaksanaan Pancasila dapat dilakukan dalam praktik hidup sehari-hari, dalam masyarakat, melalui pendidikan, maupun dalam kenyataan hidup sehari-hari. Pada dasarnya ada dua bentuk realisasi Pancasila yaitu bersifat statis dan bersifat dinamis. Statis dalam pengertian intinya atau esensinya yaitu nilai-nilai yang bersifat rohaniah dan universal, sehingga merupakan ciri khas, karakter yang bersifat tetap dan tidak berubah. Bersifat dinamis dalam arti bahwa aktualisasi Pancasila senantiasa bersifat dinamis inovatif sesuai dengan dinamika masyarakat, perubahan, serta konteks lingkungannya. Misalnya dalam konteks lingkungan kenegaraan, sosial, politik, hukum, kebudayaan, pendidikan, ekonomi, kehidupan keagamaan, Lembaga Swadaya SEMINAR NASIONAL : ISSN: 2598-6384 Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila di Era Reformasi 83 Masyarakat, organisasi masa, seni, lingkungan dunia teknologi infromasi dan konteks lingkungan masyarakat lainnya. Sosialisasi Dan Pembudayaan Pancasila Gagasan atau nilai-nilai dasar Pancasila itu memang perlu disosialisasikan kepada segenap warganegara Indonesia oleh karena berfungsinya dalam praktik bernegara membutuhkan dukungan warganya. Bagi warganegara biasa dukungan itu berbentuk penerimaan terhadap nilai nilainya, internalisasi nilai yang selanjutnya menjadi acuan penyelesaian soal kebangsaan dan kemampuan kritis jika terjadi penyimpangan pelaksanaan penyelenggaraan bernegara. Bagi warganegara selaku penyelenggara negara, sebagai sumber inspirasi bagi pembuatan kebijakan dan menjadi teladan warga dalam bernegara. Oleh karena itu kesadaran etik maupun kesadaran hukum yang mencerminkan nilai Pancasila amat penting dimiliki oleh semua warganegara Indonesia. Menurut Kaelan (2013) wujud sistem sosial kebudayaan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu sistem nilai, sistem sosial, dan wujud fisik baik dalam kebudayaan maupun kehidupan masyarakat. Dalam hubungan ini Pancasila merupakan core values sistem sosial kebudayaan masyarakat Indonesia, yaitu merupakan suatu esensi nilai kehidupan sosial kebudayaan yang multikulturalisme. Oleh karena itu, dalam proses aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus meliputi tiga dimensi tersebut, sehingga dalam hal ini diperlukan suatu proses doktriner melainkan justru pembudayaan dan internalisasi dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan sosial kebudayaan masyarakat nampak semakin kuat pengaruh individualisme, primordialisme, serta fanatisme etnis, ras, golongan maupun agama. Bangsa Indonesia adalah multikultural, multi etnis, dan multi religius, oleh karena itu nilai-nilai persatuan dalam suatu keragaman harus dibudayakan dengan berbasis pada etika religius dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan sendirinya, revitalisasi juga harus diikuti dengan upaya pembinaan, pemeliharaan, dan pemanfaatan kekayaan budaya bangsa.
2. Referensi.
a. Buku Bahan Pengajaran Bidang Studi Pancasila, Lemhannas RI, tahun 2021.
b. Pancasila Ditengah Kepungan Ideologi-ideologi Dominan / Eko Handoyo, dkk; Cet. 1-, illus,- Semarang: Unnes Press, 2018.
c. Kedudukan dan Fungsi Pancasila Bagi Bangsa Negara Indonesia, Prof.Dr.Tukiran Taniredja, M.M. dkk, Penerbit Alfabeta Bandung, 2014
d. Sekertariat Negara, Risalah Sidang Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) / Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
e. Naskah-naskah Lemhannas Bidang Studi / Materi Pokok Pancasila dan UUD NRI 1945, Sub B.S. Pancasila dan Sub B.S. UUD NRI 1945 dan permasalahannya.
f. Buku-buku tentang Era Globalisasi dan Era Tekhnologi 4.0
g. http://wahidfoundation.org/index.php/news/detail/Akar-Sejarah-Gerakan- Radikalisme-di-Indonesia. Pada April 2022, pkl. 16.00 wib.
h. https://id.wikipedia.org/wiki/Politik_identitas, pada April 2022, pkl. 20.00 wib.
i. https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia, diunduh pada April 2022, pkl.
21.00 wib.
j. https://id.wikipedia.org/wiki/Orde_Baru, diunduh pada April 2022, pkl. 21.30 wib.
k. https://www.kompas.com/skola/read/2020/07/20/144749169/republik- indonesia-serikat, pada April 2022, pkl. 22.00 wib.
l. http://www.lemhannas.go.id/index.php/berita/berita-utama/844-pancasila-di-tengah-era-globalisasi diunduh pada 21 Mei 2022 pukul 23.00
m. https://nasional.kompas.com/read/2019/10/13/21112671/strategi-menyelamatkan-pancasila?page=all diunduh pada 21 Mei 2022 pukul 23.00
n. https://kepri.kemenag.go.id/page/det/begini-upaya-pencegahan-paham-radikalisme-di-kalangan- generasi-muda-menurut-jamzuri diunduh pada 21 Mei 2022 pukul 23.00
o. https://maluku.kemenag.go.id/berita/strategi-pencegahan-intoleran-radikalisme-agama-dan- terorisme-di-maluku diunduh pada 21 Mei 2022 pukul 23.00
p. https://www.merdeka.com/peristiwa/upaya-membentengi-generasi-milenial-dari-pengaruh-paham- radikal-negatif.html diunduh pada 21 Mei 2022 pukul 23.00
q. https://nasional.kompas.com/read/2019/10/13/21112671/strategi-menyelamatkan-pancasila?page=all diunduh pada 21 Mei 2022 pukul 23.00
r. https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/10775/7%20Syifa%20Siti%20Aulia.pdf? sequence=1&isAllowed=y diunduh pada 22 Mei pukul 08.00
0 Komentar