1. Keragaman suku, identitas budaya lokal religi yang aneka merupakan sumber mata air daya hidup bangsa Indonesia. Kemajemukan itu bahkan secara proses kebudayaan diberi kata kunci kebhinekaan dalam antagonismenya dengan keikaan. Maka, sejarah peradaban kita (baca: proses-proses merajut kebudayaan agar menjadi proses transformasi agar orang-orang menjadi semakin manusiawi dalam proses yang secara sadar dihayati sebagai humanisasi), merajut diri dalam bhineka tunggal ika. Apa artinya? Indonesia yang secara politis menegaskan diri sebagai kami bangsa Indonesia pada 17-08-1945, secara kultural hanya akan terus ada dan eksis bila terus menenun keragamannya sebagai bangsa menjadi negara Republik Indonesia yang bersatu dan berdaulat seperti tertulis dalam mukadimah konstitusi 1945.
Para pemikir sosialitas hidup bersama manusia dari religi (wujud sosial dari religiositas: keimanan) memberi acuan sumber keunikan manusia dari tafsir Kitab Suci. Manusia adalah citra (gambar) unik dari Allah. Yang pria adalah citra agung Allah, sedang yang perempuan adalah citra ayu Allah. Ini pandangan Kristiani. Sementara saudara-saudari Muslim menegaskan manusia adalah khalifatullah Allah di dunia ini. Pokok renung ini berpendapat bahwa perbedaan dan keunikan manusia merupakan jati dirinya. Lihat saja dalam unit kelompok yang paling dekat yaitu keluarga. Masing-masing anak itu unik dan perbedaan watak merupakan kenyataan hakiki, sehingga orang tua berusaha memahami dan memperlakukan mereka secara unik dan tidak menyeragamkan.
Kidung dan nyanyi alam mengisahkan warna-warni dalam taman satwa maupun flora yang justru indah dalam keragamannya. Kitab Mazmur mencatat kekaguman penyairnya untuk merayakan keragaman warna-warni ciptaan sebagai anugerah hidup dari Sang Pencipta yang disyukuri kerena perbedaan dan keragaman keunikan ciptaan.
Contoh-contoh sahaja diatas menampilkan betapa keragaman yang disyairkan serta dikidungkan dimana Ibu Sud (alm.) mengubah lagu bunga di taman dengan warna-warni merah, putih, kuning dan ungu menjadi salah satu ungkapan ‘jalan seni’ dalam bahasa lagu anak-anak untuk menanamkan ke batin anak-anak bahwa kemajemukan adalah hakekat (yang inti) dalam hidup bersama. Maka, lagu ‘Desaku yang Permai’ dan pendidikan melalui nyanyian yang didendangkan tidak hanya memberi pemahaman pada anak Indonesia mengenai keragaman, tetapi juga menyanyi menjadikan pemahaman itu mesuk ke rasa hati, ke ranah afeksi mereka. Ketika anak- anak sejak kecil sudah diajak menggambar dengan warna-warni kuningnya padi matang, hijaunya tanaman serta merah, biru bunga-bunga di taman, pada mereka praktek melukis sendiri meluaskan imajinasi dan mengasah ungkapan hati yang kagum serta pilihan-pilihan warna dari budi untuk disusun menjadi lukisan yang harmonis dengan unsur-unsur keunikan perbedaan yang memperkaya.
2. Harmoni yang menjadi simponi aneka keunikan bunyi gamelan yang masing-masing berfungsi dan menyumbangkan nada suara mulai ‘gender’; ‘kenong’, tabuhan gong dalam panduan kendang berdetak-detak bagai jantung orkestra, tidak bisa tampil sendiri-sendiri tanpa kebersamaan dengan alat-alat gamelan yang lain. Sebenar-benarnya, pendidikan menabuh gamelan sejak dini pada anak-anak kita sudah langsung akan menanamkan sikap hidup untuk berpanggung bersama dengan keunikan masing-masing alat gamelan untuk penampilan orkestra harmoni dalam simponi. Alat-alat unik gamelan tidak membuahkan apa-apa kalau berbunyi sendiri-sendiri atau main sendiri-sendiri. simponi hanya akan tampil serasi selaras bila bersama-sama menapaki laras-laras nada gamelan dalam panduan kendang.
Ada ekspresi historis lukisan setelah peristiwa 1998, digambarnya tokoh-tokoh reformasi waktu itu yaitu Gus Dur, Megawati, Nurcholish Madjid, Syafii Maarif sedang memainkan gamelan! Simboliknya jelas agar mereka menyatu perjuangan menuju Indonesia Baru (waktu itu) justru dengan unsur-unsur perbedaan yang ada. Sejak kapan pelajaran kesenian yang praktek langsung tidak hanya menabuh gamelan tetapi pula orkes klasik ataupun musik-musik lokal melalui dari tanah Minang atau keroncong Betawi Toegoe maupun keroncong Jawa tidak lagi menjadi ranah pendidikan anak-anak kita? Sejak pretensi ekstim teknokrasi dan pragmatisme tanpa karakter membuat pendidikan imbang otak kanan dan otak kiri hanya dimuati kurikulumnya secara sepihak. Ketika ‘buah’ yang muncul tidak bagus, maka disiasati dengan cara link and match.
3. Kemajemukan dan keikaan ketika diformat menjadi jalan politik, maka praktek menomersatukan politik macam apa dan politik makna apa akan menjadi ujiannya. Politik sebagai usaha dan ikhtiar untuk membuat tata hidup bersama lebih berharkat dalam anggota-anggota masyarakatnya pasti akan memuat etika sebagai acuan yang baik, yang benar dan yang suci serta yang indah dari kehidupan ini untuk menjadi rambu-rambu pelaksanaan atau laku politik itu. Inilah politik yang beretika yang sebenarnya kita pantas bersyukur atau berbahagia karena para pendiri bangsa sudah memberikan dasar-dasarnya dalam proses dari bangsa majemuk ke negara kesatuan. Politik etis religiusnya jelas yaitu sila pertama 5 sila: yang rumusan konsensus akhir di alinea 4 Pembukaan UUD 1945 menekankan keesaan atau tauhid penghayatan religiositas kita dalam Ketuhanan Yang Maha Esa. Padahal bila politik etis dalam dasar bernegara sila 1 ini dilihat dalam sejarah pengolahannya oleh Bung Karno di Ende 1930-an saat dibuang oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Soekarno merumuskan setelah menghayati dari pengalaman beragamnya para misionaris Kristiani di Ende, para Muslim setempat, serta mereka yang menghayati religi-religi bumi dan kepercayaan masing-masing, sila 1 ini sebagai Ketuhanan yang berkebudayaan dan berbudi pekerti. Artinya, praksis atau laku agamis yang sudah dihayati dalam konteks budaya dari agama-agama itulah akhirnya memiliki acuan sama yang melintasi religi-religi dan yang dipraktekkan dalam budi pekerti (yang baik, benar dan suci) sebagai manusia saat keragaman agama-agama sudah tampil dalam wajah budayanya. Juga ketika keragaman pikiran, identitas sosial, beda kepentingan antar orang-orang Indonesia yang majemuk sekali, ingin bisa menghormati beda pendapat dan mencoba toleransi berpikir dipihak yang jadi lawan bicara, maka disanalah dirangkumkan ‘asas permusyawaratan perwakilan, namun dalam cara mufakat untuk mengambil putusan bersama’.
Jalan budaya berbincang dan berdebat dalam keragaman cara mengambil keputusan adalah mufakat. Para pendiri bangsa sudah bijaksana sekali mengelola disatu pihak kemajemukan tiap orang kita dan di lain pihak harus ada keputusan yang melegakan kebenaran bersama dari kebenaran masing-masing yang beda kepentingan. Mereka bijaksana karena ‘inti kebenaran’ itu tidak bisa divoting.
· Alasan pertama, kebenaran utuh itu hanya satu yaitu Allah sebagai kebenaran Ilahi. Sedang kebenaran-kebenaran insani itu parsial, terbatas relatif dan berlapis-lapis. Kebenaran utuh pulalah satu kehidupan yang dihayati oleh berbagai ragam umat manusia. Maka kehidupan sebagai kebenaran (the truth of life) itu tidak bisa divoting atau diambil putusannya dengan pemungutan suara.
· Alasan kedua, fakta bahwa tiap makhluk manusia mempunyai kepentingannya sendiri- sendiri mulai dari kepentingan akan informasi, pengetahuan dan petunjuk bahagia dalam hidup (inilah cognitive interest; religious interest). Tetapi pula political interest dalam hal menguasai untuk memenangkan tujuan politisnya, maka voting selalu memuat luka bagi yang kalah. Politik kepentingan atau penguasaan ini hukumnya adalah menang atau kalah, untuk bisa menerima ‘kalah’ butuh pendidikan etis kenegarawanan atau warga negara. Maka politik tanpa etika akan menjadi perang kuasa menguasai untuk memenangkan kepentingan kekuasannya dan menghalalkan segala cara hingga tega menyingkirkan sesama. Politik tanpa etika mengenai mufakat dan acuan nilai benar (baca: adil dalam hukum), baik (etika), suci (religius) dan yang indah (estetika) akan melupakan hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan identitas-identitas warga-warga lalu akan membuang dan mengorbankan kepentingan bersama agar bisa hidup saling menghormati dalam keragaman sebagai tujuan bernegara itu sendiri.
· Alasan ketiga, alasan sejarah proses dari bangsa menjadi negara Republik Indonesia. Negara RI tidak akan ada tanpa pengakuan kemajemukan bangsa sebagai penyusunnya. Hebat sekali pemahaman para pendiri RI saat sadar dengan kemampuan logika brilian mereka, kenyataan fakta keragaman kita sebagai orang Jawa, orang Minang, orang Batak, orang Flores, orang Makasar, Bugis, Dayak, Ambon yang bermacam-macam ini, setelah dihayati, dialami dalam pergaulan budaya dan logika induksi, maka bila ingin mendirikan negara yang menyatukan mereka yang beragam untuk itu deduksi atau abstraksi dari ragam orang-orang ini harus dirumus dalam satu kemanusiaan yang dicitakan dan diperjuangkan terus untuk adil dan beradab. Jadilah sila kemanusiaan (dalam satu Indonesia ragam suku-suku) yang adil (kesamaan perlakuan hukum dan pemerataan sosial ekonomi nafkah hidup) dan beradab (proses humanisasi yang terus menerus untuk memusnahkan perilaku-perilaku biadab menjadi keadaban).
4. Epilog: Ketika jalan politik pada titik ekstrimnya sudah membuat sesama warga dipecah-belah sebagai kerumunan musuh atau lawan di kelompok ‘mereka’ dan sebagai kawan di kelompok ‘kami’, maka jalan budaya menjadi renung jalan rekonsiliasinya apabila keragaman dijaga dan dihormati. Namun, jaman rejim penyeragaman ekstrim pun kita alami kerena politik penyeragaman meniadakan kerjasama hingga bhineka dilupakan. Ketika jalan kalkulasi untung
rugi atau manfaat dipakai sebagai ukuran pokok dalam ekonomisasi hingga tidak menguntungkan secara ekonomis ditendang keluar, tibalah mengingat kembali jalan budaya kita. Apalagi, saat-saat ini dimana reduksi atau pengerdilan hormat ke sesama dan karyanya hanya dihitung dari uang dan uang, disinilah pertanyaan hakiki untuk apa kita berbangsa dan kemanakah bernegara kita harus ditoreh dengan mempelajari lagi jalan budaya alinea 4 Pembukaan UUD 1945. Membiarkan keragaman berteriak-teriak sendiri dan bergerak sendiri secara tata politis akan menyebabkan situasi anarkis. Dan menindas kebebasan ekspresi untuk pengalaman lalu kita sudah jelas-jelas membuat mati lemas kreativitas manusia Indonesia dan otoriternya rejim politik. Maka menengok kembali tata kelola masyarakat majemuk dalam bernegara yang saat ini masih terbukti paling baik sudah pula diwariskan para pendiri RI yaitu sistem demokrasi untuk keragaman dan kepastian hukum untuk menghukum yang anarkis. Pekerjaan rumah renung kita di saat-saat ini! Saat jalan ekonomisasi terlalu mengambil nilai untung dan rugi material yang dihitung-hitung tanpa nilai-nilai immaterial sehingga harga manusia dihitung dengan uang, sedang jalan politik memecah2 kubu kawan versus lawan dan kepentingan kelompok nomor satu, maka jalan pendidikanlah merupakan jalan panjang dengan nilai proses dan proses! Inilah jalan kebudayaan yang ditanamkan sejak awal dalam ‘life wisdom’
: pepatah dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung! Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke haluan buritan : bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Akhirnya: asam di gunung dan garam dilaut bertemu dalam ‘belanga’ (kuali masakan)!
Posting Komentar
0
Komentar
Contents
*) Silakan "scroll" (geser ke atas ke bawah), lalu pilih judul yang dikehendaki.
0 Komentar