ISSUE BESAR AMANDEMEN UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG GBHN DAN PERPANJANGAN MASA JABATAN PRESIDEN SERTA DAMPAKNYA TERHADAP POLA HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA POLITIK DI INDONESIA

Pengantar

    Rezim Orde Baru menggantikan Rezim Demokrasi Terpimpin/Orde Lama, setelah pemberontakan G-30S/PKI dapat digagalkan. Untuk membangun kehidupan politik yang stabil dilakukan pembenahan antara lain melalui penyederhanaan partai politik melalui fusi partai, penyelenggaraan pemilu berkala lima tahunan, pelaksanaan desentralisasi dan pemberian otonomi daerah, penerapan prinsip trilogi pembangunan (stabilitas, pertumbuhan ekonomi, pemerataan hasil pembangunan). Ternyata langkah Orde Baru dianggap menyebabkan terjadinya “kematian demokrasi dan kebebasan politik”, sehingga memunculkan perlawanan rakyat, yang berujung pada Reformasi tahun 1998 yang di motori para mahasiswa dengan tuntutan mundurnya Presiden Suharto sebagai agenda nasional, telah berhasil memaksa Presiden Suharto mundur dari jabatannya, dan menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden BJ Habibie. Mundurnya Presiden Suharto dari jabatan Presiden, mengakhiri pemerintahan rezim Orde Baru, dan menjadi awal kembalinya sistem demokrasi di Indonesia yang diharapkan akan membawa Indonesia ke era baru sistem pemerintahan yang lebih demokratis, guna mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional bangsa Indonesia.
    Presiden BJ Habibie sebagai pejabat presiden pertama pada awal reformasi, meskipun hanya sebentar memimpin Indonesia, beliau telah berhasil memenuhi salah satu agenda reformasi mahasiswa tahun 1998, yaitu disyahkannya Undang Udang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang mengawali era baru otonomi daerah di Indonesia. Pada akhir periode masa jabatannya, Presiden BJ Habibie juga sempat memenuhi satu lagi agenda reformasi yang lain, yaitu dilaksanakannya Amandemen UUD 1945 pertama, pada Sidang Istimewa MPR, yang berlangsung dari tanggal 14 sampai dengan 20 Oktober 1999. Amandemen UUD 1945 telah membawa berbagai perubahan mendasar berupa diintrodusirnya hak asasi manusia di dalam batang tubuh konstitusi, diberikannya kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat yang luas, pemberian hak yang sama bagi setiap warga negara (baik melalui jalur partai politik maupun jalur independen) untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik dan pemerintahan.
    Gerakan Reformasi memicu adanya peralihan kekuasaan dan mendorong dilakukannya perubahan politik dan ketata-negaraan melalui amandemen UUD 1945. Amandemen dimaksudkan untuk menata kembali sistem demokrasi ke arah yang lebih baik berdasarkan pengalaman di masa lalu. Dalam melakukan amandemen, disatu sisi ada beberapa hal yang sangat prinsipiil disepakati untuk tidak dilakukan perubahan. Sekarang ini telah terjadi berbagai perubahan yang bersifat mendasar yaitu : Pertama, kehidupan demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi dengan kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan (menurut Pasal 1 ayat 2 UUD NRI Tahun 1945) secara langsung dan dalam pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak, Kedua, bahwa kelembagaan dalam pemerintahan negara dibentuk berdasarkan pada pemisahan kekuasaan (sparation of power) dengan sistem perimbangan kekuasaan (ballance of power system), sehingga kekuasaan pemerintahan negara terdiri dari Eksekutif (Presiden, Wapres, Menteri-menteri), Legislatif (MPR, DPR, DPD), Yudikatif (MA, MK, KY), dan Auditif (BPK), Ketiga, sistem pemerintahan berlandaskan pada sistem presidensial namun tidak lagi executive heavy, bahkan cenderung kepada legislative heavy. 
    Namun sepanjang perjalanan era reformasi ini yang sudah berjalan selama kurang lebih 24 tahun, masih menyisakan ketidak puasan pada entitas kekuatan politik yang konkret di Indonesia, hal ini terlihat dari peristiwa pertemuan para tokoh politik, yaitu dua hari setelah bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta, pada Jumat (11/10/2019), Prabowo Subiyanto kembali melakukan perjumpaan politik. Ketua Umum Partai Gerindra ini berkunjung ke kediaman Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh di Permata Hijau, Jakarta Selatan, pada hari Minggu tanggal 13 Oktober 2019. Salah satu hasil pertemuan ini adalah Gerindra dan NasDem akan mendorong dilakukannya Amandemen UUD NRI Tahun 1945 secara menyeluruh. Maksudnya, jelas Surya Paloh, tidak hanya terbatas pada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) saja, tetapi poin lainnya yang juga dibahas, termasuk mengenai pemilihan umum (pemilu).
    Dinamika di konstelasi politik kalangan legislatif sendiri masih menyisakan ketidak puasan dari satu entitas yang ada di dalamnya, hal ini dikarenakan faktor keinginan luhur untuk mewujudkan Sistem Perimbangan Kekuasaan (ballance of power system) yang selama ini dirasakan tidak imbang antara satu dan yang lainnya, padahal ketiga-tiganya berasal dari pemilihan umum yang sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat. Sehingga akhir-akhir ini memunculkan wacana untuk mengamandemen UUD NRI Tahun 1945. Wacana tersebut bahkan disuarakan oleh tokoh-tokoh politik tingkat nasional, seperti Ketua MPR dan anggauta-anggauta DPD. Keinginan mengamandemen UUD NRI Tahun 1945 juga didorong oleh keinginan yang bersifat pragmatis, demi kepentingan politik praktis, untuk mengambil keuntungan politik sesaat. Seperti yang disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UGM., Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, S.H., LL.M., ini menyatakan bahwa secara filosofis, UUD NRI Tahun 1945 merupakan kontrak dasar hubungan antara yang diperintah dan yang memerintah serta antar para pemegang kekuasaan negara. Oleh karena itu, UUD merupakan kontrak jangka panjang dalam penyelenggaraan negara bukan untuk kepentingan waktu sesaat. “Jika UUD diubah hanya untuk memenuhi hasrat sesaat, pasti UUD akan detail dan tidak long lasting. Lihat saja pengalaman Carlos Menem di Argentina. Dia berhasil mengubah UUD untuk melanggengkan kekuasaannya selama 3 periode tetapi tetap saja akhirnya terjadi kekacauan dan kemudian UUD Argentina diubah lagi dengan mengembalikan ke posisi semula,” paparnya.
    Bahkan MPR periode 2014-2019 telah menerbitkan tujuh poin usulan amandemen UUD NRI Tahun 1945. Pertama, pentingnya pokok-pokok haluan negara. Kedua, penataan kewenangan MPR. Ketiga, penataan kewenangan DPD. Keempat, penataan sistem presidensial. Kelima, penataan kekuasaan kehakiman. Keenam, penataan sistem hukum dan peraturan perundang- undangan. Ketujuh, Pelaksanaan pemasyarakatan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhineka Tunggal Ika (4 pilar) dan Ketetapan MPR.
    Issue besar amandemen UUD NRI Tahun 1945 tentang akan dihidupkan nya lagi Garis-garis Besar Haluan Negara/ Pokok-pokok Haluan Negara (GBHN/PPHN) dibahas dalam wacana amandemen UUD NRI Tahun 1945. Keberadaan GBHN/PPHN dinilai penting sebagai haluan pembangunan bangsa dan negara. Hal itu mengemuka dalam acara focus group discussion (FGD) yang digelar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) bersama MPR di Jakarta, pada hari Selasa tanggal 8 desember 2020. Pembicara dalam seminar tersebut antara lain Rektor Unkris Ayub Muktiono, Plt. Dekan Fakultas Hukum Unkris Muchtar HP, guru besar Fakultas Hukum Unkris Gayus Lumbun, dan beberapa anggota MPR.
    Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus menilai akan banyak produk perundang-undangan yang akan berubah jika GBHN diberlakukan. Sebab, sejak tahun 2000, peraturan perundang-undangan mengacu pada RPJP dan RPJMN. Issue besar lainnya adalah amandemen yang agendanya dapat melebar, berubah dari agenda amandemen semula, menjadi agenda memperpanjang masa jabatan Presiden, dari maximal dua kali masa jabatan menjadi lebih dari dua kali, hal ini akan sangat berdampak pada pola hubungan antar lembaga politik di Indonesia, hal mana implikasinya terhadap konstelasi politik nasional, juga sangat signifikan. Seperti yang disampaikan oleh Prof. Asep Warlan Yusuf, pakar hukum tata negara dari Universitas Katolik Parahyangan, yang menyatakan bahwa, tidak ada jaminan untuk tidak akan melebar dan meluas kemana-mana. Asep menilai pembahasan amandemen UUD NRI Tahun 1945 ini bisa menjadi pintu masuk wacana tentang masa jabatan presiden menjadi tiga periode seperti yang sudah santer muncul di publik saat ini. "Jangan-jangan ini pintu masuk mereka untuk nanti melebar juga ke sana. Kan tidak ada jaminan kita makan bersama hari ini besok jadi lawan dalam politik. Jadi hari ini mengatakan bahwa ini yang diubah itu TAP MPR, besok lusa di MPR berubah sekalian saja dengan masa jabatan presiden jadi 3 periode. Bisa jadi melebar," demikian ujar Prof. Asep Warlan5.

Implikasi jika amandeman UUD NRI 1945 tentang pemberlakuan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau sekarang diwacanakan namanya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dilaksanakan dan implikasi jika amandemen tersebut tidak dilaksanakan

Implikasi Jika PPHN Dilaksanakan:

Reaktualisasi GBHN

Tujuan pembangunan tetap

Target pembangunan jangka panjang dapat terwujud, misalnya; kedaulatan pangan dan kedaulatan energi.

Program yang tidak terselesaikan pada periode tertentu Presiden dapat diselesaikan Pedoman Visi, Misi Presiden

Produk perundang-undangan berubah

Apabila Presiden tidak menjalankan GBHN diberhentikan oleh MPR

MPR berpotensi menjadi lembaga tertinggi negara

MPR memilih Presiden/Wapres

Mereduksi sistem presidensil

Implikasi Jika PPHN Tidak Dilaksanakan:

Kecenderungan eksekutif sentries dan Memungkinkan RPJPN dilaksanakan secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan. Karena implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) didasarkan kepada visi dan misi presiden dan wakil presiden terpilih dalam pemilihan umum, maka masing-masing dapat memiliki visi dan misi yang berbeda dalam setiap periode pemerintahan,

Jika issue amandemen UUD NRI 1945 untuk menjadikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi dan DPD mempunyai wewenang yang sama serta sejajar dengan DPR yang diwacanakan tokoh-tokoh nasional akhir-akhir ini betul-betul dilaksanakan, apa dampaknya / implikasinya terhadap pola hubungan antar lembaga politik di Indonesia.

Usulan perubahan yang berkaitan dengan pemberlakuan kembali GBHN berhubungan langsung dengan penataan kewenangan MPR. Artinya, peletakan kembali kedudukan GBHN tidak mungkin dilakukan selama kedudukan MPR bukanlah sebagai lembaga tertinggi negara sebagaimana diatur Konstitusi sebelum amendemen. Apabila keinginan pembentukan GBHN hampir sama dengan GBHN ketika zaman Orde Lama dan Orde Baru, penyusunan wewenang MPR tentu perlu dilaksanakan, yaitu mengembalikan kedudukan MPR pada posisi lembaga tertinggi Negara dan sekaligus sebagai pemegang tertinggi kedaulatan rakyat dalam Negara demokrasi. Namun, selama berpikir memberikan dasar hukum dengan Ketetapan MPR, posisi MPR sebagai lembaga tertinggi akan secara otomatis hidup kembali. Dalam soa lini penting dicatat, desain GBHN seperti zaman Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto hanya mungkin diterima dengan cara mengadopsi posisi MPR dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan. Permasalahan mendasar yang perlu dianalisis, menjadikan MPR sebagai lembaga negara tertinggi akan berimplikasi kepada penggeseran kembali lokus pengelolaan negara ke tangan lembaga perwakilan/legislatif. Apabila lokus kekuasaan bergeser ke lembaga perwakilan,berdampak kepada perubahan system pemerintahan yang berubah menjadi system parlementer. Dalam kondisi demikian, tidakbisa dihindarkan jika GBHN dibuat MPR, pihak yang menjalankan kuasa eksekutif (presiden) terikat dan memiliki tanggungjawab kepada pembuat GBHN. Dalam teori ilmu politik dan hokum tata negara, apabila pemegang kuasa eksekutif tunduk dan bertanggung jawab kepada lembaga legislatif, maka system pemerintahannya adalah sistem parlementer. Sehingga, yang paling dikhawatirkan, keinginan untuk menghidupkan kembali GBHN dengan melakukan penataan wewenang MPR akan menciptakan praktik ketatanegaraan system parlementer diNegara Indonesia. Oleh karenaitu, jika sejumlah pihak mulai memikirkan rencana perubahan tersebut akan bermuara pada perubahan proses pemilihan presiden dan wakil presiden dari pemilihan langsung menjadi pemilihan tidak langsung atau sistem pemilihan berbentuk perwakilan. Bagaimanapun, mempertahankan konsep pemilihan langsung dengan keharusan presiden untuk menjalankan GBHN yang dibuat MPR akan menghadirkan permasalahan serius dalam desain demokrasi bersistem pemerintahan presidensial.

Jika amandemen UUD NRI 1945 tetap dilaksanakan, hal-hal apa saja yang menjadi konsensus bersama untuk tidak diubah, dan apa tujuan konsensus tersebut.

Amandemen UUD NRI 1945 Dilakukan Dengan “Kesepakatan Dasar“ Yakni:

▪ Tidak mengubah Pembukaan UUD NRI 1945.

▪ Mempertahankan NKRI.

▪ Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial.

▪ Penjelasan UUD NRI 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukan ke dalam pasal-pasal. Contoh: Pasal 1 ayat 3 Negara Indonesia adalah negara hukum, sebelum perubahan UUD 1945 ketentuan itu terdapat dalam Penjelasan UUD 1945 berupa tujuh kunci pokok sistem pemerintahan Indonesia, bahwa Indonesia adalah negara berdasar hukum (rechtstaats), tidak berdasarkan kekuasaan semata (maachtstaats).

Jika issue besar amandemen UUD NRI 1945 tentang perpanjangan masa jabatan presiden betul-betul dilaksanakan, apa dampak yang ditimbulkan, jelaskan pendapat peserta mengenai hal tersebut secara singkat.

Lebih dari 2 periode dan Kembali ke UUD NRI 1945 sebelum amandemen serta Berpotensi sebagai sumber konflik bangsa.

Bahaya jika masa jabatan presiden tak dibatasi:

1. Seseorang akan otoriter

2. Abuse Of Power, menyalahgunakan Kekuasaan

3. Regenerasi Kpemimpinan Nasionan Macet

4 . Seseorang bisa menjadi diktator

5. Timbulnya Kultus Individu

Apa dampaknya jika konstitusi kita kembali ke UUD 1945, seperti pada saat dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959.

Gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya dan rentetan peristiwa politik dan keamanan yang mengguncangkan persatuan dan kesatuan bangsa mencapai klimaksnya pada bulan Juni 1959. Akhirnya demi keselamatan negara berdasarkan staatsnoodrecht (hukum keadaan bahaya bagi negara) pada hari Minggu tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka.

Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Pembubaran konstituante. Tidak berlakukannya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terdiri dari anggota DPR ditambah utusan daerah dan golongan serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Referensi:

Boedisoesetio, 1962; Beberapa Soal Hukum Berkenaan Dengan Berlakunya Kembali UUD 1945, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Yaysan Badan Penerbit Universitas Gadjahmada, Yogyakarta.

Hatta, Mohammad, 1970, Sekitar Proklamsi, Tinta Mas, Jakarta.

Joeniarto, 1966, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Yayasan

Badan Penerbit Universitas Gadjahmada, Yogyakarta.

Joeniarto, 1968; Ilmu Hukum Tatanegara dan Sumber-sumber Hukum Tatanegara, Yayasan Badan Penerbit Universitas Gadjahmada, Yogyakarta.

Kansil, CST, 1978; Sistem Pemerintahan Indonesia, Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Aksara Baru, Jakarta.

Marijan, Kacung, 2011, Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Kencana Prenada Media Grup, 2011.

Pringgodigdo, AG; Perubahan Kabinet Presidensiil Menjadi Kabinet Parlementer, Yayasan Fonds Universitas Gadjahmada, Yogyakarta.

Pringgodigdo, AG, 1964, Tiga Undang Undang Dasar, Pembangunan, Jakarta.

Sanusi, Achmad, 1958; Perkembangan Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Simorangkir, JCT, dan Beng Mang Rengsay, 1958, Konstitusi dan Konstituante Indonesia I, NV Soeroengan, Jakarta.

file:///C:/Users/Asus/Downloads/1146-Article%20Text-4395-1-10-20210124.pdf DIunduh 28 mei 2022 pukul 20.19

https://fh.unair.ac.id/en/diskursus-pokok-pokok-haluan-negara-dalam-amandemen-uud-1945-jalan-panjang-ketentuan-arah-pembangunan-indonesia/ DIunduh 28 mei 2022 pukul 20.19

https://www.mpr.go.id/berita/FGD-MPR-RI-Tentang-Pokok-Pokok-Haluan-Negara-(PPHN),--PPHN-Bisa-Dihadirkan-Melalui-Konsesus-Politik DIunduh 28 mei 2022 pukul 20.19

Soekarno, Presiden Republik Indonesia, 1959; Manifesto Politik republik Indonesia 17 Agustus 1959, Penerbitan Khusus Departemen Penerangan RI, Jakarta.

Suny, Ismail, 1963; Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, CV Karya Nilam, Jakarta.

Yamin, Muhhammad, 1950, Naskah Persiapan Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Yayasan Prapanca, Jilid I, Jakarta.

Yuhana, Abdy, 2013; Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Pasca

Perubahan UUD 1945, Fokusmedia, Bandung. Assaat, 1951; Hukum Tatanegara Republik Indonesia, Bulan Bintang, Catatan II, Jakarta.

Posting Komentar

0 Komentar